Kamis, 20 Mei 2010

Puisi Untuk Talas

Puisi Untuk Talas
BAGIMU YANG TERBARU
KARYA : ALI SYAHBAN AMIR
Talas…
Terbayang benteng kesabaran yang menjadi tabir duka,
saat sapaan segan menyambut tanpa dilirik.
Tanpa dendam tetap berjalan, ikhlas hati menjadi cawan setia bagimu.

Hasrat,
hasrat tuk mengikutimu bertumpu beriringan,
terpahat seperti rumpun bambu di belantara kota..
harapku menjadi jembatan di gerbang samuderamu,
bukan tuk menjadi penghalang di tegas langkahmu.

Kami berdiri dengan nafas tercegang,
Seperti ketika memandang indah mentari yang terbit di disisimu,
Hingga senarai kukuhmu seakan berteriak kemari...
Kemarilah ke singgasana karya,
di ujung benang kreasi, kita sulam jarum kebersamaan,
jangan berhenti menyelami ikrar budaya,
walau tetesan nafas terakhir mengering…


Kami faham, sampai bukti kebesaran hati menjadi janji yang berlabuh di pengharapan…
Karena Jika seuntai doa terus mengalir dari lapang hati,
maka muara bakti akan menggapai lautan mimpi…
Dan syukur, rahasia kejenuhan kini terdesak di antara retorika kesopanan…
Dengan dinaungi rasa hormat yang mendalam, sumpah setia pasti menjadi cetakan di pundak kami.
Yakin kami di Satu tujuan, ingin melanjutkan langkah kaki sang kakak…

Hormat, menjadi benih unggul di ladang beretika,
sebab itu di sirami kesabaran dan kesadaran serta keseganan.
Kesabaran membuat induk tetap membimbing tunas,
Dan kesadaran membuat tunas selalu berpena di hadapan sang induk,
Serta keseganan membuat tak seorang pun berani meludahi induk hingga tunas.
Hidup kami memiliki itu…

Pecayalah,
Talas,
Kami,
Bagimu yang terbaru…


Kampus Biru, 20 Mei 2010

Senin, 17 Mei 2010

BUKAN AKU YANG BERNAFAS

Karya : Ali Syahban Amir

Biarkanlah sang pujangga memahat rasanya di kertas putih.

Bayangkanlah  itu dikibari bendera kebebasan.

Dan,

Saat mereka bertanya tentang makna kebebasan,

Gemakanlah…

Kebebasan itu berbuah kenikmatan, dan tumbuh pada malam hari…

 

Percayalah…bahkan,

pahamilah…

Jika dingin berantai sepi, hasrat pejantan kan berselimut nafsu

 Dan jika kau berada disitu, dosa tak kan melekat padamu

Aku yakin itu…

 

Aaaaahaaahhh….!!!

Jiwaku ternyata rindu….

ingin aku menghinggapi  Betina malam, karena itu serasa bertemu kekasih lama

tapi aku berjanji tetap menjauhi rawa berlalat di sisinya, sebab itu bermuara pada penyesalan…

 

ketahuilah…

kau tetap jadi kau,

walau,

aku disini, bukan aku yang bernafas…

Tala’salapang, 08 Mei 2010

Dinda Sepertinya

DINDA SEPERTINYA

KARYA : ALI SYAHBAN AMIR

Mengapa senja dinda panggil pagi?

Harus berapa kali lagi memanjatkan taubat?

Ingat dinda…!

Jangankan seribu mata Jibril,

tiga mata si Jago pun tak akan melirikmu…

 

Sayang duri cemooh belum berserakan di telapak dinda,

Jika itu terjadi, habis jasadmu…

Mungkin saja, dagingmu terurai tanpa bakteri,

Kan beterbangan seperti debu yang mengemis di jalan itu…

 

Apa jadi cakap ayahanda?

Keringatnya, menjadi soda di gelas bersulang dinda

Cangkulnya, mengalirkan uang ke kantong dinda…

Keriput tulangnya, mengubah kapok menjadi busa di kasur dinda…

 

Tidurlah…! Tidurlah…! Tidurlah…!

 

Sampai surya kau anggap purnama dan purnama kau anggap surya…

Terbayang sinar terbayang , nyata di mimpi basah…

Dinda bingung akan makna ini, bagai tikus padi kekenyangan…

 

Tak bahagiakah dinda dengan sayur mama yang tanpa daun?

Dulu di rahim tak bertulangnya, dengan hati tak ragu, kau menggantung pusar…

Dan semua bersaksi, ia bukan mama di depan pelabuhan…

Ya, naluri milikmu tahu. Tapi…

Jarimu hanya asyik membilang foya-foya rupiah…

Mulutmu kini seperti enggan mentasbihkan namanya…

Bahkan, bibirmu selalu bercumbu dengan gemulai api neraka…

Hingga di air liurmu ada cincin dusta yang selalu kau tindikkan di telinganya…

 

Huh…!!!

Jadi jangan pernah bertanya mengapa, pada pesilat di mulutku.

 Sebab, pesilat di mulutku adalah lidahku,

 ia hanya akan menari saat ditanya berapa…

 

Dinda berjalan di debu trotoar, ayahanda berjalan di lumpur pematang sawah…

Dinda di lantai 15, ayahanda di ranting pohon kelapa…

Dinda menyapu keringat setubuh, ayahanda menyapu ilalang liar…

 

Kau tega mengobral kasih sayangnya, hingga mereka hanya mampu memakan hati…

Saat kau terbaring lemah, mereka menyusuri lembah sengsara untuk mengobatimu…

Luka mendapat duka, pasti mereka akan kuat…

Sedang kau, suka mendapat murka, pasti kau akan lemah…

 

Pasrah….!

Dinda…

Sepertinya…

Aku…

 

 

Tanah Kelahiran, 10 Mei 2010

SENYUM BERTAHTA FIRDAUS

Karya   :  Ali Syahban Amir

Ketika sang pengayuh mimpi menangis ditubuh senja,

Di tubuh senjanya dihembusi aroma keangkuhan,

Di tubuh senjanya , terbalut kebosanan dan mulai menutupi luka kesabarannya.

 

Jiwanya berdarah…. Raganya seperti dicabut malaikat maut saat mendayung gerobak yan g dihiasi sampah-sampah mahluk berdasi.

 

Mereka tahu, senjanya kan menjadi jalan layang menuju liang malam…Liang malam kan memisahkannya dengan buah mentari kecilnya,

Yang hidupnya hanya menghirup aroma keangkuhan di atas piring yang tak mungkin meliriknya…

 

Dahaga akan selalu menjerat lehernya dan hanya air kencing mahluk berdasi yang sanggup ia percikkan untuk membuka jerat dahaga dilehernya…

 

Ha…ha…ha….ha…ha…

Aku bersyukur terlahir menjadi buah mentari kecil yang bertangkai dari sang pengayuh mimpi….

Aku yakin sumpahku akan membawaku memercikkan air kencing ini dijerat dahaga buah mentari kecil yang kesemutan diselokan gedung tinggi itu…

Karena aku tahu, saat  jerat dahaga ini terbuka balutan kebosanan pun akan terlepas…

Dan karena sang pengayuh mimpi tahu, dibalik balutan kebosanannya ada tersulam senyum wangi yang kan menghapus aroma keangkuhan diatas piring yang kemudian akan meliriknya…

Dengarlah, hai sang pengayuh mimpi….

 

Senyum wangi  itu kan mengobati luka kesabaranmu…

Senyum wangi itu kan membunuh tangismu…

Senyum wangi itu kan mengantarmu ke liang malam yang bertahta firdaus…

 

Dengarlah hai sang pengayuh mimpi…. 

 

Sang pengayuh mimpi, tetaplah tersenyum, tunggulah kilau mutiara harapan

Jangan lengah engkau mengambil nafas,raihlah kebebasan menjaga mentari…

Sang pengayuh mimpi, tetaplah tersenyum, tunggulah kilau mutiara harapan

Jangan lengah engkau mengambil nafas, raihlah kebebasan menjaga mentari…

                Dengarlah hai sang pengayuh mimpi…

                Senyum wangi kan obati luka kesabaranmu…

                Senyum wangi itu kan membunuh tangismu…

                Senyum wangi itu kan mengantarmu ke liang malam yang bertahta firdaus…

 

 

 

Kampus Biru, 27 April 2010, 03:00 am